masukkan script iklan disini
![]() |
| Eko Pratama, Ex Koordinator Pusat BEM Nusantara 2021-2022. |
Kepri, antena - Program Sekolah Rakyat yang digagas oleh presiden prabowo melalui Kementerian Sosial Republik Indonesia (Kemensos) menjadi salah satu instrumen negara untuk memutus rantai kemiskinan antar generasi dengan memberikan akses pendidikan bagi ana keluarga miskin dan miskin ekstrem.
Program ini juga menawarkan pendekatan inklusif yang menempatkan anak-berkebutuhan khusus dan wilayah tertinggal sebagai penerima manfaat. Dalam konteks peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pemerataan pendidikan, program ini menawarkan peluang sekaligus tantangan yang perlu dilihat secara kritis.
Peluang Peningkatan Kualitas SDM
1. Akses pendidikan yang memadai bagi anak dari keluarga miskin. Program Sekolah Rakyat menyediaan sekolah ber asrama gratis, fasilitas lengkap, dan bebas biaya bagi siswa kategori sosial ekonomi rendah. Hal ini membantu menghilangkan hambatan biaya dan akses yang selama ini menghambat peningkatan kualitas SDM di keluarga kurang mampu.
2. Fokus pada kualitas dan pengasuhan menyeluruh. Sekolah Rakyat di desain dengan fasilitas asrama, layanan kesehatan, dan pendampingan keluarga sehingga siswa tidak hanya sekolah tapi dibina dalam lingkungan yang mendukung pertumbuhan akademis dan karakter.
3. Korelasi positif dengan pengentasan kemiskinan. Dengan menyediakan pendidikan yang berkualitas dan lingkungan yang mendukung, program ini berpotensi meningkatkan kapasitas siswa untuk melanjutkan ke jenjang lebih tinggi atau memasuki dunia kerja dengan keterampilan yang lebih baik.
Program ini memang disebut sebagai bagian konkret untuk “memutus mata rantai kemiskinan," ucap, Eko Pratama, Ex Koordinator Pusat BEM Nusantara 2021-2022) pada Kamis, 30 Oktober 2025.
4. Wilayah 3T (terdepan, tertinggal, terluar) menjadi target inklusi. Contoh: kerja sama antara Kemensos dan Kementerian Transmigrasi Republik Indonesia untuk membuka Sekolah Rakyat di kawasan transmigrasi dan Papua. Ini artinya program bisa memberi peluang kepada anak-di daerah tertinggal yang selama ini aksesnya jauh tertinggal.
Peluang Pendidikan Inklusif untuk Kelompok Terpinggirkan
1. Inklusivitas sosial: Program menetapkan kuota atau prioritas bagi keluarga miskin ekstrem dan anak dari keluarga yang selama ini termarjinalkan.
2. Infrastruktur dan fasilitas yang ramah inklusi. Setiap unit Sekolah Rakyat dilengkapi dengan fasilitas modern dan inklusif, termasuk layanan bagi siswa berkebutuhan khusus minimal 5 %.
3. Mengangkat potensi anak-dari latar belakang sosial ekonomi rendah untuk mendapatkan pengalaman pendidikan yang layak dan setara. Hal ini berdampak pada keadilan sosial dan pemenuhan hak pendidikan dasar yang selama ini belum optimal.
4. Mengurangi kesenjangan antar wilayah dan kelompok sosial. Dengan membuka sekolah di wilayah tertinggal dan menyasar anak miskin, diharapkan tercipta pemerataan yang lebih baik.
Tantangan Efektivitas dan Keberlanjutan Program
1. Sumber daya manusia (guru, tenaga kependidikan) dan kualitas pengajaran. Meskipun infrastruktur dijanjikan, kualitas guru dan mekanisme pengajaran tetap menjadi ujung tombak. Disampaikan bahwa untuk keberlanjutan Sekolah Rakyat, penguatan kelembagaan dan SDM sangat penting.
2. Logistik dan infrastruktur di wilayah sulit. Untuk wilayah 3T atau terpencil, membuka sekolah dengan fasilitas lengkap dan asrama bisa menjadi tantangan besar.
3. Anggaran dan pembiayaan. Dari laporan, alokasi anggaran untuk pembangunan Sekolah Rakyat pada 2025 disebut sebesar Rp 24,9 triliun untuk 200 lokasi sekolah. Tantangan muncul pada pengelolaan anggaran, efektivitas penggunaan, dan monitoring hasil jangka panjang.
4. Risiko segregasi pendidikan. Beberapa kritik muncul bahwa sekolah “khusus miskin” bisa menimbulkan stratifikasi baru dalam sistem pendidikan jika tidak dikelola dengan prinsip kualitas yang sama dan inklusif bagi semua lapisan. (Meskipun ini belum secara resmi dieksplorasi dalam studi akademis terkait program ini).
Rekomendasi untuk Memaksimalkan Peluang dan Mengatasi Tantangan
1. Pastikan kualitas guru dan tenaga pendukung melalui rekrutmen berbasis kompetensi, pelatihan berkelanjutan, serta sistem evaluasi yang transparan.
2. Lakukan monitoring dan evaluasi berbasis data: tetapkan indikator seperti tingkat kelulusan, transisi ke pendidikan lebih tinggi atau kerja, peningkatan pendapatan siswa dan keluarga, serta pengurangan angka kemiskinan antargenerasi.
3. Prioritaskan keadilan dan inklusi sejati: jangan sekadar membuka akses tetapi pastikan layanan pendukung (transportasi, asrama, gizi, layanan khusus) tersedia bagi kelompok yang paling terpinggir.
4. Libatkan komunitas lokal dan pemda dalam pengelolaan sekolah, agar konteks lokal (bahasa, budaya, kondisi sosial) bisa diakomodasi dan keberlanjutan terjaga.
5. Atur mekanisme pendanaan jangka panjang dan diversifikasi sumber pembiayaan (APBN, kerjasama BUMN/swasta, dana daerah) untuk memastikan pengoperasian berkelanjutan dan bukan hanya pembukaan sekolah baru.
6. Pastikan integrasi kurikulum yang relevan dengan keterampilan abad ke-21 (digital literasi, keterampilan hidup, kewirausahaan) sehingga lulusan benar-benar siap menghadapi pasar kerja atau melanjutkan ke jenjang berikutnya.
7.kuatkan juga kurikulum berbasis kebudayaan, karena pada hari ini kita menghadapi tantangan generasi yang mulai kehilangan jati diri bangsanya akibat dari pengaruh globalisasi, pengurangan muatan lokal sebagai pondasi budaya bangsa dalam kurikulum skolah negri menjadi tantangan yang harus di jawab oleh kurikulum pembelajaran di sekolah rakyat.
Program Sekolah Rakyat menawarkan jalur strategis untuk memutus mata rantai kemiskinan melalui peningkatan kualitas SDM dan memberikan pendidikan inklusif kepada kelompok yang selama ini tertinggal.
Jika pemerintah dan pemangku kebijakan menjalankan rekomendasi secara konsisten, terutama pada kualitas guru, monitoring hasil, dan kesinambungan pembiayaan, maka program ini memang bisa menjadi game changer dalam upaya pemerataan pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia. Namun, jika tantangan-tantangan tidak diatasi, risiko munculnya sekolah yang “gratis” namun kualitasnya rendah atau tidak mampu membawa perubahan signifikan tetap harus diwaspadai. (*)
