masukkan script iklan disini
![]() |
Tempat Pembuangan Sementara (TPS) sampah di Kota Ranai, Kabupaten Natuna, Kepri. (Foto: antena.id). |
Natuna, antena.id - Cuaca mendung menggantung di atas Kota Ranai. Rintik hujan yang turun pelan tidak menyurutkan langkah sekelompok laki-laki dan perempuan paruh baya yang berjibaku di antara tumpukan sampah. Di mata mereka, bukan bau menyengat yang menyesakkan dada, melainkan sisa-sisa kehidupan yang masih bisa dikumpulkan, dipilah, dan ditukar dengan lembaran rupiah.
Di tengah geliat target-target besar pembangunan, jargon pemulihan ekonomi, dan program-program besar yang digulirkan pemerintah, kita dipaksa menunduk sejenak melihat sisi lain dari kemajuan itu. Ketika tangan-tangan renta harus tetap merogoh sisa botol, kaleng minuman, dan kardus di antara limbah rumah tangga, maka di sanalah sesungguhnya nurani kita sedang diuji.
Tampak seorang ibu, usia senjanya tak bisa lagi disembunyikan dari keriput di wajah dan langkah gontai kakinya. Dahulu ia petugas kebersihan di pantai piwang, kini hanya bisa berharap dari plastik bekas dan kardus robek yang nilainya tak seberapa. Ia bukan tidak mau bekerja sesuai aturan, bukan tak ingin hidup layak, tapi ketika kebijakan hanya berpihak pada syarat dan angka, dan lupa pada jiwa yang menggantungkan harapan di sanalah mereka dibiarkan berjalan sendiri.
"Dulu saya bekerja sebagai tukang bersih dipantai piwang, sudah 9 tahun saya dipekerjakan disana. Tapi awal tahun kemarin kami dirumahkan oleh pemerintah, kontrak tidak diperpanjang. kami orang kecil pak, tak sekolah tinggi, tentang syarat harus penuhi itu ini kami baru bisa kerja lagi manalah kami bisa. Tapi kalau suruh kerja kami siap" lirihnya, Ranai, Kamis, 3 Juli 2025.
Terkadang beberapa anak kecil ikut hadir menemani orang tuanya, bermain di sela-sela tumpukan sampah, bersenda gurau di antara kaleng dan botol, seakan-akan itu taman bermain mereka. Sebuah potret yang indah sekaligus menyayat. Karena dari kecil mereka telah belajar bahwa hidup bukan tentang mimpi setinggi langit, tapi tentang bagaimana bertahan saat kaki masih menapak tanah.
Ketika suara kendaraan pengangkut sampah datang, para pemulung ini bergegas. Bukan karena panik, tapi karena semangat. Mereka tahu, dari situ mereka bisa mendapat "Harta karun." Bagi kita, itu limbah tak berguna. Bagi mereka, itulah ladang rezeki.
Satu demi satu dikumpulkan menjadi tumpukan kecil yang kelak akan dirupiahkan. Semua dipilah secara rapi, tutup botol, botol, kaleng susu, kaleng minuman, kardus dimasukkan dalam tempat yang berbeda dengan rapi seperti para pedagang besar yang mensortir barang dagangannya sebelum dikirim ke konsumennya.
"Kaleng sejenis susu ini bisa dijual dengan harga Rp 2000, kaleng minuman Rp 10.000, Botol Plastik Rp 3000, kardus Rp 1000," jelasnya dengan semangat karena barang tersebut akan sangat bernilai baginya.
Ada banyak ironi yang lahir dari tumpukan sampah. Termasuk bagaimana sebagian orang bisa kehilangan pekerjaan karena kontrak tak diperpanjang, sementara pada saat yang sama, pembangunan bernilai miliaran rupiah tetap digulirkan. Ada pula ironi lain bagaimana ibu-ibu ini masih bisa tersenyum di tengah keterbatasan, saat banyak dari kita mengeluh hanya karena sinyal WiFi lambat atau kopi pagi yang terlalu pahit.
Sesungguhnya, Natuna ini tidak miskin, daerah kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, tapi kewenangan daerah yang pelan-pelan diamputasi membuat daerah seperti tak bertuan dan mandiri. Ditambah lagi sering kali program-program pusat yang diteruskan oleh daerah tidak tepat sasaran, menjadi pertanyaan besar siapa sebenarnya yang didata, turun lapangan, melihat dan merasakan atau hanya cukup mencatat diatas meja.
Program nyata yang menyentuh kebutuhan dasar, kadang masih berbelit-belit. Kepentingan elit politik penguasa menjadikan bantuan hanyalah produk untuk menggalang suara. Yang rentan dan renta tetap harus bekerja, tetap membesarkan anak-anaknya, tetap menegakkan punggung meski tulang terasa remuk. Semua dilakukan karena satu hal yakni, "Harapan."
Kemiskinan bukan hanya masalah angka. Ia adalah cermin kepekaan sosial kita. Bila para pemulung, ibu janda, harus menempuh hidup dari sisa-sisa sampah yang kita buang, maka mungkin yang perlu dibersihkan bukan hanya kota tapi juga hati dan kebijakan kita.
Wajah-wajah polos dengan tatapan kosong menitip harap, dengan jargon perubahan, Bupati Natuna saat ini bisa beri solusi lapangan kerja untuk mereka. Memantau dan turun langsung melihat ceruk-ceruk kehidupan bawah yang kadang tidak tersentuh.
Kehidupan yang bermartabat itu bukan hanya hak mereka yang duduk di balik meja, tapi juga mereka yang berdiri di antara tumpukan sampah, mengejar masa depan yang sederhana namun penuh harga diri tanpa perlu pengemis dan peminta-minta.
(Said)
Ada banyak ironi yang lahir dari tumpukan sampah. Termasuk bagaimana sebagian orang bisa kehilangan pekerjaan karena kontrak tak diperpanjang, sementara pada saat yang sama, pembangunan bernilai miliaran rupiah tetap digulirkan. Ada pula ironi lain bagaimana ibu-ibu ini masih bisa tersenyum di tengah keterbatasan, saat banyak dari kita mengeluh hanya karena sinyal WiFi lambat atau kopi pagi yang terlalu pahit.
Sesungguhnya, Natuna ini tidak miskin, daerah kaya dengan sumber daya alam yang melimpah, tapi kewenangan daerah yang pelan-pelan diamputasi membuat daerah seperti tak bertuan dan mandiri. Ditambah lagi sering kali program-program pusat yang diteruskan oleh daerah tidak tepat sasaran, menjadi pertanyaan besar siapa sebenarnya yang didata, turun lapangan, melihat dan merasakan atau hanya cukup mencatat diatas meja.
Program nyata yang menyentuh kebutuhan dasar, kadang masih berbelit-belit. Kepentingan elit politik penguasa menjadikan bantuan hanyalah produk untuk menggalang suara. Yang rentan dan renta tetap harus bekerja, tetap membesarkan anak-anaknya, tetap menegakkan punggung meski tulang terasa remuk. Semua dilakukan karena satu hal yakni, "Harapan."
Kemiskinan bukan hanya masalah angka. Ia adalah cermin kepekaan sosial kita. Bila para pemulung, ibu janda, harus menempuh hidup dari sisa-sisa sampah yang kita buang, maka mungkin yang perlu dibersihkan bukan hanya kota tapi juga hati dan kebijakan kita.
Wajah-wajah polos dengan tatapan kosong menitip harap, dengan jargon perubahan, Bupati Natuna saat ini bisa beri solusi lapangan kerja untuk mereka. Memantau dan turun langsung melihat ceruk-ceruk kehidupan bawah yang kadang tidak tersentuh.
Kehidupan yang bermartabat itu bukan hanya hak mereka yang duduk di balik meja, tapi juga mereka yang berdiri di antara tumpukan sampah, mengejar masa depan yang sederhana namun penuh harga diri tanpa perlu pengemis dan peminta-minta.
(Said)