masukkan script iklan disini
![]() |
Mahasiswa Pekanbaru asal Kepri, Raja Pradigjaya. |
Kepri, antena - Dalam momen perayaan hari jadi Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), mahasiswa Pekanbaru asal Kepri, Raja Pradigjaya, mengajak mahasiswa untuk merefleksikan kembali janji kesejahteraan yang sering digaungkan. Apakah Kepri telah mencapai kemakmuran yang diharapkan, ataukah masih banyak tantangan yang harus diatasi?
Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) resmi memasuki usia ke-23 tahun. Di tengah gegap gempita perayaan hari jadi, pertanyaan besar menggema di ruang publik. Apakah Kepri benar-benar telah mencapai kemakmuran? Ataukah masih berkutat dalam kesengsaraan yang terus diwariskan?
Kepri yang dimekarkan dari Provinsi Riau pada 2002 silam, menyimpan potensi luar biasa. Letak geografis yang strategis di jalur pelayaran internasional, kekayaan laut yang melimpah, hingga kawasan industri seperti Batam dan Bintan, semestinya menjadi modal besar untuk menciptakan kemajuan. Namun di balik potensi itu, tak sedikit persoalan krusial yang hingga kini belum terselesaikan, ucap, Raja Pradigjaya, Rabu (24/9).
Ketimpangan pembangunan dimana pulau besar maju, pulau kecil terlupakan. Salah satu problem paling nyata adalah ketimpangan pembangunan antar wilayah. Sementara, Batam, Tanjungpinang dan Bintan menikmati kemajuan infrastruktur dan konektivitas digital, pulau-pulau kecil lainnya masih bergelut dengan akses listrik terbatas, jaringan internet lemah, serta layanan pendidikan dan kesehatan yang minim.
Bukan hanya itu kemiskinan dan pengangguran masih menghantui. Pertumbuhan ekonomi Kepri memang tercatat positif, namun angka pengangguran dan kemiskinan tetap menjadi bayang-bayang. Di kota-kota besar seperti Batam, banyak buruh kehilangan pekerjaan. Sementara itu, nelayan di pulau-pulau kecil kesulitan mencukupi kebutuhan sehari-hari akibat hasil tangkapan menurun dan biaya hidup meningkat.
Menurut data BPS 2024, tingkat pengangguran terbuka Kepri masih di atas rata-rata nasional, dan sebagian besar didominasi oleh usia produktif. Kondisi ini diperparah dengan minimnya pelatihan keterampilan dan akses terhadap lapangan kerja yang layak di luar sektor informal.
Tak hanya itu krisis lingkungan, eksploitasi sumber daya yang merusak masa depan. Masalah kerusakan lingkungan menjadi ancaman nyata bagi keberlanjutan Kepri. Aktivitas penambangan pasir laut di beberapa wilayah diduga telah menyebabkan abrasi dan merusak ekosistem laut.
Selain itu, penangkapan ikan secara ilegal (illegal fishing) dan pembalakan liar di beberapa kawasan hutan lindung memperburuk kondisi lingkungan. Sayangnya, penegakan hukum terhadap pelanggaran lingkungan masih lemah, dan banyak laporan masyarakat yang tidak ditindaklanjuti serius.
HUT Kepri ke-23 seharusnya menjadi titik balik, bukan hanya ajang pesta. Pemerintah dituntut untuk benar-benar mendengarkan suara rakyat di pulau-pulau terluar, memastikan bahwa janji kemakmuran tidak hanya dirasakan segelintir wilayah.
Sebab pada akhirnya, usia hanyalah angka, yang penting adalah sejauh mana kehadiran pemimpin benar-benar dirasakan oleh seluruh rakyatnya, dari pusat kota hingga pelosok pulau. (*)