masukkan script iklan disini
![]() |
Muhajirin, SH, Inisiator LBH Natuna (Foto: untuk antena.id). |
Natuna, antena - Suara dari akar rumput kembali menggema. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum (YLBH) Natuna–Ranai resmi mengeluarkan pernyataan sikap terkait maraknya aktivitas tambang rakyat tanpa izin di Kabupaten Natuna. Namun nada yang mereka bawa bukan provokasi, bukan pula pembelaan buta melainkan ajakan duduk bersama dengan kepala dingin, hati jernih, dan akal sehat.
Bukan rahasia lagi, aktivitas tambang rakyat berlangsung bertahun-tahun, sering kali bukan karena niat melanggar, tapi karena desakan hidup dan ketiadaan akses legal yang berpihak pada masyarakat kecil. Sayangnya, yang paling cepat hadir justru penindakan, bukan solusi.
Melalui pernyataan sikapnya, YLBH Natuna memotret permasalahan ini dari sudut yang jarang disentuh, keadilan sosial, kearifan lokal, dan keberpihakan humanis. Alih-alih mencari siapa salah dan siapa benar, mereka mengajak seluruh komponen pemerintah daerah, pusat, aparat hukum, perusahaan, tokoh adat, dan masyarakat untuk berhenti saling menuding dan mulai mencari jalan tengah yang bermartabat.
Hukum Bukan Palu Godam , Tapi Kompas Solusi
YLBH menegaskan, pendekatan represif terhadap penambang rakyat tanpa izin tidak bisa terus dijadikan senjata utama. UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 (sebagaimana diubah dalam UU 3/2020), Pasal 22 dan Pasal 70, telah memberi ruang untuk Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan penerbitan Izin Pertambangan Rakyat (IPR). Artinya, masyarakat tidak dilarang menambang mereka hanya tidak diberikan jalur yang mudah diakses.
YLBH menyoroti beberapa poin penting:
- Pemerintah wajib memberi solusi, bukan sekadar menindak.
- Negara tak boleh hanya hadir saat memberi sanksi, tapi juga saat rakyat mencari nafkah.
- Kriminalisasi masyarakat kecil harus dihentikan, selama aktivitas yang dilakukan tidak bagian dari jaringan tambang skala besar yang merusak.
- Pembukaan WPR adalah jalan tengah yang diatur undang-undang, tapi prosesnya sering lamban dan jauh dari jangkauan masyarakat.
- Pembinaan dan pendampingan harus diprioritaskan, agar praktik tambang rakyat ramah lingkungan dan tidak berbenturan dengan aturan.
- Diusulkan moratorium penindakan pidana terhadap penambang kecil, sampai WPR dan IPR benar-benar ditetapkan.
- YLBH siap melakukan pendampingan hukum gratis bagi masyarakat yang dikriminalisasi.
Moral, Kemanusiaan, dan Rasa Aman Jadi Titik Tolak
Narasi ini bukan pembenaran pelanggaran hukum, tapi kritik terhadap cara pandang yang timpang. Mereka mengingatkan: rakyat tidak mencuri kekayaan negara mereka hanya belum diberi pintu legal untuk mengelolanya.
YLBH mengajak semua pihak berhenti mengadili masyarakat kecil yang menggali tanahnya sendiri demi makan, sementara celah izin tambang sering hanya terbuka untuk yang bermodal besar.
“Negara hadir bukan sebagai hakim yang menunjuk-nunjuk, tapi sebagai penuntun jalan keluar,” begitu pesan moral yang ditegaskan Muhajirin, SH direktur YLBH Natuna-Ranai.
Saatnya Duduk Bareng dan Bergerak Cepat
Persoalan tambang rakyat bukan tentang siapa paling benar, tapi siapa paling tulus menyelesaikan. Dengan bahasa lugas dan berani, YLBH mengetuk pintu pemerintah dan aparat penegak hukum agar:
- Gercep (gerak cepat) menetapkan wilayah pertambangan rakyat
Mengedepankan rasa aman, bukan rasa takut
- Menguatkan koordinasi lintas sektor tanpa saling lempar tanggung jawab
- Memperbaiki tata kelola lingkungan tanpa memiskinkan warga
Karena pada akhirnya, hukum tanpa kebijaksanaan hanya menghasilkan luka sosial baru.
YLBH Natuna menutup sikapnya dengan pesan tegas, "Negara tak boleh membiarkan rakyatnya berjalan di jalan sunyi tanpa arah. Jika ada pelanggaran, selesaikan dengan edukasi, legalisasi, dan musyawarah bukan jeruji besi."
Dan satu hal yang paling penting keadilan tak boleh berhenti di atas surat keputusan ia harus terasa sampai ke dapur rumah warga.
(Said)