![]() |
Bupati Natuna, Cen Sui Lan saat menyerahkan laporan LKPJ tahun 2024 kepada DPRD Kabupaten Natuna. |
Natuna, antena.id – Pemerintah Kabupaten Natuna menghadapi sorotan tajam setelah realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) tahun 2024 dilaporkan tidak mencapai target. Hal ini terungkap dalam penyampaian Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ) Kepala Daerah Tahun Anggaran 2024 oleh Bupati Natuna Cen Sui Lan pada Kamis, 10 April 2024. Laporan ini merupakan pertanggungjawaban atas kinerja pemerintahan yang sebelumnya masih dijabat oleh Bupati Natuna, Wan Siswandi.
Dalam penyampaian intisari eksekutif LKPJ di hadapan DPRD Natuna, sejumlah pihak menilai informasi yang disampaikan belum sepenuhnya menggambarkan kondisi nyata pelaksanaan program dan kegiatan pembangunan sepanjang tahun 2024. Padahal, eksekutif summary seharusnya menjadi cerminan transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Mengacu Aturan, Namun Minim Detail Esensial
Kepala Bagian Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Kabupaten Natuna, Izhar, saat dikonfirmasi antena.id menyebutkan bahwa penyusunan LKPJ mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 19 Tahun 2024. Regulasi tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2019 tentang Laporan dan Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Izhar menegaskan bahwa capaian kinerja program dan kegiatan, pelaksanaan peraturan daerah, serta penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah menjadi indikator utama dalam LKPJ. Namun demikian, publik mempertanyakan mengapa aspek-aspek krusial seperti peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM), pertumbuhan ekonomi, Pendapatan Asli Daerah (PAD), penurunan angka kemiskinan, pembangunan infrastruktur, hingga isu keterbatasan anggaran dan utang daerah tidak disinggung secara terbuka dalam intisari laporan.
APBD Tinggi, Realisasi Rendah
Realisasi pendapatan daerah tahun 2024 tercatat hanya mencapai 73,59 persen dari total anggaran yang direncanakan. APBD murni diketok pada angka Rp1.181.057.303.000, kemudian meningkat dalam APBD Perubahan menjadi Rp1.309.442.057.434. Namun hingga akhir tahun, realisasi yang tercapai hanya Rp963.630.814.399,19—bahkan lebih rendah dari estimasi awal APBD murni.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan dari berbagai kalangan, terutama terkait keputusan menaikkan alokasi anggaran dalam APBD Perubahan pada masa kerja yang tersisa hanya beberapa bulan. Masyarakat menilai keputusan tersebut terkesan tidak realistis dan berisiko besar terhadap stabilitas fiskal daerah.
Dampak Ekonomi dan Beban Keuangan
Gagalnya realisasi pendapatan ini berdampak langsung pada kondisi keuangan daerah. Selain mengikuti kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah pusat, defisit yang terjadi juga disebabkan oleh beban utang ratusan miliar rupiah yang belum terselesaikan. Akibatnya, daya beli masyarakat menurun drastis, bahkan menyebabkan deflasi di beberapa sektor. Pertumbuhan ekonomi Natuna pun mengalami tekanan berat, terutama di kuartal pertama tahun 2025.
Menurut beberapa sumber dari kalangan rekanan pemerintah yang enggan disebutkan namanya, situasi keuangan daerah semakin rumit akibat tunggakan pembayaran kepada pihak ketiga, termasuk keterlambatan gaji honorer dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP) ASN. Semua ini dianggap sebagai konsekuensi dari tidak sehatnya postur APBD Perubahan 2024.
Tuntutan Transparansi dan Akuntabilitas
Kondisi ini menimbulkan beban moral dan politis terhadap pemerintahan bupati baru. Harapan terhadap keterbukaan informasi publik pun kembali menguat. Masyarakat menuntut laporan yang lebih transparan, objektif, dan menyentuh persoalan mendasar, bukan sekadar formalitas administratif.
Jika pemerintah gagal menyampaikan laporan yang mencerminkan realitas di lapangan, maka nilai transparansi dan akuntabilitas yang selama ini digaungkan hanya akan menjadi slogan tanpa makna. Lebih dari itu, ini akan memperlebar jurang kepercayaan antara pemerintah dan rakyat yang dipimpinnya.
Said