• Jelajahi

    Copyright © antena.id
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan Pemda

    Dugaan Kuat Mafia Tanah di Teluk Buton: Di Balik Surat, Ada Kuasa

    07/07/25, 18:50 WIB Last Updated 2025-07-07T11:50:19Z
    masukkan script iklan disini

    Desa Teluk Buton di Kabupaten Natuna. (Foto: antena.id).

    Natuna, antena.id - Bau anyir pertambangan pasir kuarsa belum sepenuhnya hilang dari Teluk Buton. Di balik kilauan potensi ekonomi, konflik kepemilikan lahan justru menjadi luka menganga yang tak kunjung sembuh. Sengketa yang mencuat sejak pemekaran wilayah administratif kini menjelma menjadi dugaan permainan kotor dalam penerbitan surat tanah, penggunaan dana retribusi tambang, alokasi CSR hingga dana kompensasi yang tidak tepat sasaran.


    Media ini melakukan penelusuran selama dua pekan di lapangan. Hasilnya menunjukkan indikasi kuat adanya peran aktif kepala desa dalam praktik tumpang tindih lahan yang semakin masif sejak wilayah tersebut masuk ke dalam zona pertambangan pasir kuarsa.

    Sejumlah warga mengaku, kepala desa masih menerbitkan surat keterangan kepemilikan tanah baru, meski di atas tanah yang sudah lama dimiliki oleh orang lain.

    “Saya sudah punya surat tanah sejak masih berbentuk G7 kemudian diubah jadi alas hak tahun 2006, tapi sekarang tanah itu sudah digarap perusahaan. Yang bikin saya bingung duit ganti ruginya kok tidak sampai ke saya, dan infonya desa sudah keluarkan lagi surat baru di atas tanah saya itu dengan nama pemilik yang baru," sebut, salah seorang warga yang tidak mau disebutkan namanya beberapa waktu dekat ini kepada antena.id.

    Dua Desa, Dua Versi Wilayah


    Sengketa lahan ini berakar panjang. Dulu, Teluk Buton merupakan bagian dari Kecamatan Bunguran Barat, sebelum akhirnya masuk ke wilayah pemekaran Bunguran Utara. Desa tetangganya, Pengadah, juga mengalami nasib serupa, berpindah dari Bunguran Timur ke Bunguran Timur Laut.

    Peraturan Daerah Nomor 71 Tahun 2019 seharusnya menjadi titik terang. Namun keputusan ini justru memanaskan relasi antar warga dua desa saat tahu perubahan batas wilayah antara dua desa, kehadiran perusahaan tambang pasir kuarsa seakan sebagai pemantik hingga persoalan ini mencuat ke permukaan.

    “Sejak dulu batas wilayah antara teluk Buton dan pengadah itu adalah kawasan tanjung Datuk di bagi dua, tapi tahun 2019 batasnya dipindah menjadi kawasan Belading. Kita tidak tahu kedepannya mau digeser kemana lagi batas wilayah dua desa ini. Yang jelas perebutan wilayah tidak bisa dilepas akan keberadaan masuknya peta tambang, mulai ada banyak permainan. Surat tanah muncul tiba-tiba, orang-orang yang dulu nelayan, sekarang punya puluhan hektare,” kata seorang tokoh masyarakat setempat.

    300 Surat, dan Miliaran Dana Tak Terjawab


    Data yang dihimpun menunjukkan, hingga kini, terdapat lebih dari 300 surat tanah yang telah dibebaskan oleh perusahaan tambang. Nama-nama yang muncul sebagai pemilik mencakup Kepala desa dan termasuk oknum dekat kepala desa, yang sebelumnya dikenal sebagai nelayan biasa bukan sebagai petani ataupun memiliki lahan untuk berkebun.

    “Bau busuk mafia tanah ini bukan sekadar spekulasi. Surat dibuat tanpa melibatkan perangkat desa yang  semestinya,  Semua terpusat di tangan kepala desa, dan atas instruksinya” ungkap warga yang sangat tahu betul seluk beluk administrasi di desa tersebut.

    Tak berhenti di lahan. Dugaan penyimpangan turut mencuat dari pengelolaan dana retribusi tambang, yang menurut laporan mencapai miliaran rupiah, serta dana CSR ratusan dan kompensasi bulanan yang diberikan kepada warga dari perusahaan tambang.

    Senyap di Kursi Kepala

    Upaya konfirmasi dilakukan media ini kepada kepala desa dan BPD desa Teluk Buton. Namun hingga berita ini diturunkan, tak satu pun tanggapan diberikan. Pertanyaan tentang tumpang tindih lahan, dana CSR, hingga dana kompensasi tidak dijawab meski sudah beberapa kali dikonfirmasi melalui telpon dan pesan elektronik.

    Ironisnya, kepala desa yang pernah terlibat konflik langsung dengan aparat pemilik lahan  dan menyelesaikannya dengan penggantian lahan di tempat berbeda,  kini justru kembali menjalankan gaya kepemimpinan soliter, tanpa musyawarah dan transparansi.

    Menanti Campur Tangan Serius

    Kasus ini semestinya menjadi alarm keras bagi pemerintah daerah dan aparat penegak hukum. Sengketa lahan bukan hanya menyangkut garis batas dan surat tanah, tetapi menyangkut hak hidup, keadilan sosial, dan masa depan sebuah desa.

    Apakah Teluk Buton akan dibiarkan menjadi ladang subur para spekulan, atau akan dibersihkan dari permainan yang mencederai kepercayaan publik? Waktu yang akan menjawab  atau mungkin hukum yang lebih dulu bergerak.

    (Said)
    Komentar

    Tampilkan

    Terkini